Melayu Raya
“Melayu Raya Ada Kuasa Besar Halang Terbentuknya” : Prof. Dr. Nik Anuar
Prof. Dato’ Dr. Nik Anuar Nik Mahmud, UKM. Pemergian Allahyarham 28 Oktober 2010 lalu merupakan satu kehilangan besar kepada negara, khususnya ketika sistem pendidikan negara sedang dalam proses menjadikan mata pelajaran Sejarah sebagai mata pelajaran wajib lulus dalam sistem peperiksaan di sekolah. Mengikut Dr. Roosfa Hashim, rakan setugasnya di UKM “Allahyarham Prof. Dato’ Dr. Nik Anuar merupakan sejarawan yang secara serius berusaha menulis kembali sejarah Patani dan Sejarah bangsa Melayu daripada perspektif anak tempatan. Proses pemperibumian ilmu yang jelas dapat kita kesan pada karya-karya beliau.”
Sebagai seorang tokoh sejarah, Allahyarham telah banyak menulis buku-buku Sejarah khususnya berhubung dengan sejarah bagi rantau Asia Tenggara. Di antara hasil penulisan Allahyarham ialahTunku Abdul Rahman and his role in the Baling Talks: A documentary history (1998), Sejarah Perjuangan Melayu Patani 1785-1984 (Penerbit UKM 1999), The Malays of Patani: The search for security and independence (MPH 2008), Tok Janggut: Pejuang atau penderhaka? (Jabatan Sejarah UKM), Konfrontasi Malaysia-Indonesia (Penerbit UKM 2000), Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan: Isu sempadan dan kedaulatan (Penerbit UKM 2003), Tuntutan Malaysia ke atas Borneo Utara (Penerbit UKM 2001), Duri Dalam Daging: Singapura dalam Malaysia (Persatuan Sejarah Malaysia 2001) dan artikel-artikel lain yang dimuatkan dalam pelbagai media.
Hidayatullah.com--Hubungan Indonesia dengan Malaysia mengalami pasang surut. Suatu kali tampak mesra, kali lain mengalami ketegangan. Bahkan kedua negara yang sebenarnya serumpun ini pernah bertempur di medan laga.
Beberapa waktu lalu, nyaris saja dua negara ini perang lagi gara-gara masalah perbatasan. Padahal, keduanya berpotensi besar menuju kejayaan Islam. Sebab, kedua negara ini mayoritas pendudukannya beragama Islam. Bahkan di Malaysia Islam dinyatakan sebagai agama resmi negara satu-satunya.
Terhadap pasang surutnya hubungan Indonesia dan Malaysia itu, pakar Melayu Prof. Dr. Dato’ Nik Anuar Nik Mahmud dari Institut Alam dan Tamadun Melayu, Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) dan pakar sejarah di Fakulti Sains Sosial melihatnya ada peranan asing. Benarkah?
Berikut ini wawancara koresponden hidayatullah.com di Malaysia, Nuim Hidayat, dengan pakar masalah Asia dan penulis beberapa buku Melayu lulusan University of Hull, Inggeris itu.
Bagaimana Anda melihat hubungan Malaysia Indonesia ini dari perspektif sejarah?
Kalau kita baca buku-buku sejarah, khususnya buku-buku sejarah Melayu yang ditulis sebelum perang dunia ke-2, seperti Sejarah Melayu yang ditulis oleh Abdul Hadi dan Munir Adil, maka wilayah Semenanjung dan Indonesia dianggap sebagai alam Melayu Raya. Mereka menamakan tanah Melayu; Sumatera, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Johor, Kelantan, Pattani, dan lainnya sebagai alam Melayu, atau di Indonesia dikenal istilah Nusantara. Iaitu wilayah Semenanjung tanah Melayu dan gugusan tanah Melayu.
Sejarah ini diajarkan kepada pelajar-pelajar Melayu sebelum Perang Dunia (PD)-II. Sebelum PD-II ada semangat untuk memulai kembali bersatunya Melayu. Di Indonesia juga ada usaha seperti ini. Mereka ingin alam Melayu ini disatukan atas nama “Indonesia Raya”. Intinya, ada hasrat untuk bersatu.
Bagaimana kelanjutannya?
Rencana itu tidak berhasil karena dihalangi oleh kuasa-kuasa besar. Mereka tidak mau melihat bangsa Melayu mempunyai satu negara. Mereka hanya ingin melihat perpecahan. Kalau bangsa Melayu di bawah satu negara, maka akan jaya. Bangsa Melayu berpotensi besar, baik dari segi jumlah penduduknya yang besar maupun hasil buminya.
Akibat halangan kuasa-kuasa besar itu, usaha mewujudkan “Melayu Raya” akhirnya gagal. Malaysia dengan Malaysia-nya, Indonesia tetap dengan Indonesia-nya. Meski demikian, pasca tahun 1963, pemimpin-pemimpin Melayu berusaha tetap ada jalinan kerjasama yang erat.
Tahun 1958-1959, Tun Razak, Perdana Menteri (PM) Malaysia, melakukan lawatan ke Jakarta dan Perdana Menteri (PM) Juanda melawat ke Kuala Lumpur. Mereka melakukan perjanjian kerjasama, kebudayaan dan bahasa. Walaupun berbeda negara, atas nama satu rumpun pemimpin Indonesia ingin kerjasama.
Bagaimana kemudian hubungan Indonesia Malaysia tahun 60-an itu?
Tokoh-tokoh Indonesia Malaysia sebenarnya mau mengukuhkan hubungan perjanjian persahabatan. Tahun 1961, hubungan Malaysia Indonesia lebih dingin berkaitan dengan rencana PM Malaysia untuk membentuk Malaysia. Dia mengumumkan bahwa dia akan membebaskan Sabah, Serawak, Brunei, Singapura dari penjajahan Inggris dan menyatukan negeri ini dengan tanah Melayu. Pengumuman itu disalahartikan oleh Presiden Soekarno. Ia menganggap rencana itu bertujuan melemahkan atau melumpuhkan Indonesia.
Gagasan itu ditentang Indonesia. Bila saya kaji, tidak ada satu kalimat pun yang menyatakan bahwa tujuan Malaysia untuk melemahkan Indonesia. Tujuan Malaysia adalah memerdekakan sisa-sisa penjajahan Inggris di Asia Tengah. Bukan bertujuan untuk mengepung Indonesia. Atau bermufakat dengan Barat memecah wilayah Indonesia. Saya kira ini lebih karena salah paham.
Tapi mengapa Presiden Soekarno bereaksi seperti itu?
Saya tak boleh menyalahkan Presiden Soekarno. Waktu ada pergolakan PRRI di Sumatera, ada pemimpin PRRI yang lari ke Melayu. Mereka memohon suaka politik. Malaysia mengizinkan, tapi dengan syarat jangan menjadikan tanah Melayu sebagai bekal untuk menentang Indonesia. Jadi itulah mengapa kemudian Malaysia memberikan perlindungan kepada Des Alwi, Dr Sutino, dan lain-lain.
Tapi Soekarno justru salah paham dan mencurigai Melayu. Tahun 1963-1966 terjadi konfrontasi Indonesia-Malaysia.
Bagaimana hubungan RI-Malaysia di saat Soeharto?
Soeharto mengambil alih tahun 1966, hubungan Malaysia-Indonesia menjadi pulih. Setelah itu, hubungan Indo-Malay zaman Tun Razak-Soeharto cukup bagus, cukup erat. Kalau konfrontasi diteruskan, maka yang mendapat manfaat ketika itu pasti Partai Komunis Indonesia (PKI). Salah satu syarat yang diberikan Indonesia untuk Malaysia adalah dengan mengadakan pemungutan masalah Sabah dan Serawak. Malaysia setuju. Pemungutan suara diadakan lewat Pemilu tahun 1967. Hasilnya partai pro-Malaysia menang dan Sabah-Serawak memilih untuk bergabung dengan Malaysia. Tapi Indonesia kala itu melihat bahwa Sabah-Serawak dipaksa masuk ke Malaysia, untuk “melumpuhkan” Indonesia.
Jika begitu, bagaimana sebenarnya pandangan Malaysia kepada Indonesia?
Tun Razak menganggap Indonesia sebagai abangnya. Tapi yang berlaku hari ini, sejarah ini banyak dilupakan, baik oleh generasi di Indonesia maupun di Malaysia. Lupa bahwa Malaysia-Indonesia adalah alam Melayu yang satu rumpun. Melayu Johor, Melayu Jawa, Kalimanatan, satu rumpun. Susahnya, sejarah ini tidak diajarkan kepada generasi baru, baik di Malaysia maupun di Indonesia. Akibatnya, generasi baru di Indonesia dan Malaysia menganggap bahwa kita berbeda. Tapi pada generasi kami, menganggap bahwa hubungan dengan Indonesia adalah kakak-adik saja.
Jadi harus bagaimana menyikapi sejarah ini?
Sebaiknya, kita harus memasukkan unsur sejarah ini dalam pelajaran di sekolah, baik di Indonesia maupun Malaysia. Bahwa kita ini aslinya satu rumpun. Kita menjadi berpisah karena penjajahan. Di Institut Alam dan Tamadun Melayu, kita ingin membangkitkan semangat satu rumpun Melayu ini.
Kalau mau jujur, semua suku di Indonesia ada di Malaysia: Jawa, Bugis, Aceh, Minang. Aslinya penduduk semenanjung itu sebenarnya Kelantan, Trengganu, dan Kedah. Kini banyak orang Jawa di Johor, Selangor juga Jawa, Aceh pun banyak di sini. Negeri sembilan sebagian penduduknya dari Minangkabau. Sultan Selangor itu dari Bugis. Jadi sepatutnya kita dengan semangat satu rumpun bekerjasama untuk bangunkan alam Melayu ini. Tapi kalau masing-masing berpecah karena asabiyah, kita akan terus menjadi mainan kuasa-kuasa besar yang tidak mau melihat bangsa Melayu tumbuh menjadi bangsa yang besar. Kita mesti tanamkan kembali sejarah. Dari segi agama, bahasa, Melayu sama.
Bagaimana bisa meyakinkan bahwa ada usaha asing untuk memecah Melayu ini?
Dalam memoar buku Thomas Raffles disebutkan, Barat harus memastikan bahwa alam Melayu ini lemah. Untuk melemahkan dia usul dua strategi: Pertama, imigran-imigran asing masuk ke Melayu supaya kawasan ini tidak menjadi kawasan Melayu, melainkan majemuk (dibawa orang-orang China dan India).
Kedua, pastikan bahwa raja-raja Melayu: Semenanjung, Sumatera, Jawa dan sebagainya, tidak mengambil para ulama Arab menjadi penasehat mereka. Jadi, tujuannya untuk memisahkan Arab dengan Melayu.
Harus diingat bersama, sebelum ini hubungan antara kerajaan Islam di Melayu dengan Daulah Utsmaniyah cukup erat. Sebab, penasehat raja-raja Melayu adalah ulama dari Timur Tengah. Maka, itu oleh Raffles diganti dengan penasehat dari Belanda atau Inggris.
Yang penting sekarang, Indonesia-Malaysia harus terus bekerjasama, dan harus terus ditingkatkan.
www.hidayatullah.com
No comments:
Post a Comment